Derasnya kamu menangis
karena diriku yang tak pantas untuk kamu elu-elukan. Kamu hanya perihal yang
tak harus mngorbankan setetes air yang berharga itu.
Siang itu aku dan kamu berseru . berikrar dan berikhtiar
untuk selalu bersanding di langit. Aku yang akan menerangi. Dan kamu yang akan
menyejukkanku.
Perbincangan akan apa yang akan diberikan. Ini hanya sesaat
ketika itu hanya sandiwara. Dari dulu-dulunya kami tidak pernah ditakdirkan
satu. Komponen berbeda dari kami itu yang membuat kami sangat keterbelakang. Aku
adalah matahari. Dia adalah awan.
Tahukah kau ketika hari itu cahaya mu sungguh membuatku
muak. Aku meronta dan berteriak. Tak sadarkah kau telah mengambil hak ku di
dunia ?
Aku yang penuh dengan keseriusan, kemapanan. Ini membuatku
harus melakukakannya. Sekencang-kencangnya aku mengeluarkan kesedihan ini. Bumi
pun mendukung keputusanku. Aku kalap dengan keadaan kacauku dengan matahari. Tak
kuserahkan kebebasanku kepadanya. Kulontarkan semua kesedihanku. Angin membantuku.
Mengencangkan tangisanku. Tapi tahukah aku akan keputusan salahku ? Tidak, aku
tidak tahu.
Matahari dengan segelintir cahayanya hanya bersandar tenang
di pangkuan langit.
Aku pun semakin murka dan hasilnya bumi menjadi berantakan. “Menyatupun
kita tidak akan bias sepaham” , harapku untuk dia mengerti.
Matahari dan Awan yang saling berseteru. Langit pun hanya
menjadi bidak tak bernyawa. Hanya bias merindukan suasana itu. Ketika Matahari
dan Awan bercanda tentang asal usul dunia.
“Langitku hanya bicara
seperti jangkar yang diam di dasar laut tapi akan bergerak ketika waktunya
tiba. Yah, ketika dunia tidak ada lagi. Hilang di pelupuk Tuhan”, bersorak
langit pada dirinya
Dan awan tetap berpendirian teguh begitu juga matahari
Ah… aku merindu
0 komentar:
Posting Komentar